“Pergilah,” ujar mama. “Papamu sudah membelikan tiket.”

Mungkin, aku memang butuh berlibur untuk melupakan kasus perceraian kemarin.

***

Aku termenung menatap lukisan bergaya street art di sekujur pagar jembatan. Gembok-gembok itu hilang tak tersisa. Terakhir kali, aku memasangkan satu bersama Nolan yang ditulisi nama kami berdua. Tapi kuncinya kami buang ke bak sampah, bukan ke sungai.

“Are you gonna eat that sandwich?” tanya suara anak kecil membuyarkan lamunanku.

“Yes, but I have some of it,” ujarku seraya berjongkok lalu memberinya satu potong. “What’s your name?”

“My name is Billy,” jawab bocah berwajah asia itu

“Where’s your mom, Billy?”

“My mom is in heaven,” jawabnya dengan mulut penuh.

“Oh, I’m sorry to hear that,” ucapku turut berduka. Kasihan Billy.

“And your father?” tanyaku ragu-ragu seraya membersihkan sisa mayones di pucuk bibirnya.

“Over there!” Ia menunjuk sembarang ke ujung jembatan. Tampaknya ia terlepas dan berjalan sendirian kemari.

“Billy!” Sahut sebuah suara terdengar panik. “Billy, where are you?”

Aku berdiri seraya mengangkat tangan. “Over here, Sir!”

Pria itu mendekat lalu memeluk Billy erat. Sementara aku? Aku mematung di samping mereka.

“Jangan jauh-jauh dari Papa, ya, Billy!”

Bocah itu hanya mengangguk seraya tetap menekuri sandwich-nya.

“Thank you for watching for Bill… Riri? Is that you?”

“Ya,” ucapku dengan nada terlalu riang.

“Wow, I can’t… Where is Toro?”

“He’s not here,” ucapku seraya menunjukkan jemari tanpa cincin. “Perjodohan orang tua kami tak berhasil rupanya.”

Nolan tak menjawab. Hanya tersenyum.

“Mom, can I have another sandwich?” celoteh Billy dengan pelafalan ‘Mam’ yang terdengar seperti ‘Mom’ di telingaku.

Leave a comment