“Gila, ya!” umpat Rosi. “Gue udah kerja 8 jam full, makan juga disempet-sempetin kalau ingat, tetap aja tiap malam disuruh lembur. Enak kali, ya, jadi freelancer kayak lu, Rin? Bisa bebas.”

Padahal jam kerjaku 24/7. Saat terlelap pun, aku harus siap terjaga jika dibutuhkan.

“Enggak juga, lah,” sanggah Airin. “Gue tuh mesti ngemis kerjaan sana-sini, loh. Kerjaan yang simpel aja bisa revisi berkali-kali. Dan yang paling ngeselin, udah di awal nawar harganya kejam, eh, pas invoice jatuh tempo mendadak susah dihubungin. Mending jadi entrepreneur, deh, kayak Salma.”

Padahal keringatku tak dibayar. Seumur hidup, sepanjang napas.

“Eh, lu gak tau aja, sih, Lin,” tutur Salma pada Airin. “Tiap tanggal gajian, olang-olang enak dapat duit. Lah, gue? Mesti mikil dapet duit dali mana buat bayal kalyawan. Apalagi kalo bisnis lagi sepi kayak gini, amsyong! Mending jadi ibu lumah tangga, lah, kayak Siti. Iya, gak, Ti?”

Padahal aku harus selalu memutar otak agar uang bulanan yang sifatnya terbatas itu bisa mencukupi kebutuhan kami yang tak terhingga. Tapi, sudahlah, tak pula ada gunanya membanding-bandingkan pekerjaan satu dengan yang lain. Bukankah lebih baik mensyukuri segala yang masih kita punya?

Akhirnya, kujawab pertanyaan Salma tadi hanya dengan anggukan dan senyum manis.

Leave a comment