Percayakah kalian bahwa kita tak akan pernah melupakan cinta pertama?

“Andi!” panggil pria berjanggut panjang yang tengah menggendong bocah kecil itu. “Andi, kan? Wah, orang jauh beneran dateng, nih, ya.”

Tak sulit mengenali Malik meski pertemuan terakhir kami sekitar lima belas tahun lalu. Tak lain, karena ia cukup aktif di media sosial, berbanding terbalik dengan cinta pertamaku yg sepertinya terlalu larut dalam kehidupan nyatanya.

“Iya, sekalian mudik juga, sih,” jawabku seraya menyambut uluran tangannya untuk bersalaman.

“Masih sendiri aja, Ndi? Anakku sudah empat, loh,” ujarnya membanggakan diri.

“Minta doanya saja,” jawabku diplomatis. “Mana istri?”

“Lagi menyusui yang paling kecil di ruang panita sana,” jawabnya seraya memberi kode ke arah samping panggung.

Aku sedikit terperanjat. Bukankah bocah yang tengah digendongnya juga masih dalam usia menyusui? How come?

“Andiii!” panggil suara melengking seorang wanita yang amat kukenal.

Aku segera pamit dari Malik dan menghampiri sumber suara.

Sist, lo ngapain ngumpetin makanan di balik baju, sih?” candaku usai cipika-cipiki. “Bikin malu aja.”

“Kurang ajar!” tegur Maria. “Calon ponakan lo ini.”

Kami kemudian larut dalam euforia nostalgia. Aku dan Maria hampir tak saling kenal ketika SMP. Bahkan kami tak saling mengingat kala bertemu kembali di salah satu universitas di Bandung. Saat aku menceritakan cinta pertamakulah ia mulai menyadari bahwa sebenarnya kami pernah satu sekolah.

Maria juga yang memaksaku datang ke reuni ini. Maklum, semenjak orang tuaku berpulang, aku memang enggan kembali ke Jakarta. Aku menerima setiap mutasi ke kota-kota besar di Indonesia asal bukan di kota ini.

“Kamu bisa bertemu cinta pertamamu, Ndi,” bujuknya tempo hari.

“Ndi!”

Tiba-tiba saja Maria mencengkeram lenganku. Pandangannya melewatiku. Bibirnya kemudian mengucap salam diikuti nama indah itu. Nama cinta pertamaku.

DEG!

Aku pun berbalik.

“Andi?” suaranya masih semerdu dulu.

“Andi yang pernah kekunci di kamar mandi?” tebaknya. “Yang dijailin siapa itu, ya? Aduh! Anak bandel yang badannya bongsor itu pokoknya, siapa itu namanya? Andi yang itu, kan, ya?”

“I-iya!” gagapku seraya mengangguk.

Meski bukan pada momen terbaikku, setidaknya ia mengingatku. Meski kami saling mengingat untuk alasan yang berbeda, aku tetap bahagia. Apa lagi yang bisa ku harapkan memangnya?

“Bu Zulaikha apa kabar?” tanyaku usai mengecup punggung tangannya.

Leave a comment