(Review) Misteri Patung Garam oleh Ruwi Meita – Persembahan Karya Seni Pembunuh Keji

Judul : Misteri Patung Garam

Penulis : Ruwi Meita

Penerbit : Gagas Media

Tahun terbit : Cetakan pertama, 2015

Jumlah hlmn : 278 halaman

***

Lia tiba di Surabaya dan langsung bergerak ke rumah Wina, sahabatnya. Sesampainya di sana, sayup-sayup terdengar suara piano dari lantai atas. Mendapati pintu tak terkunci, Lia bergegas naik. Di atas, ia justru disambut sahabatnya yang sudah tak bernyawa. Bahkan mayatnya terbilang dalam keadaan yang sungguh mengerikan, namun sekaligus artistik.

“Seluruh tubuhnya ditempeli dengan adonan garam sehingga dia mirip patung garam.” (hlmn 10)

Tak lama berselang, kejadian yang sama kembali berulang. Leyla, seorang pelukis muda, ditemukan mati dalam keadaan yang sama. Terbalut garam, mengenakan wig merah terang, dan tanpa bola mata hingga hanya menyisakan lubang hitam yang gelap dan mengerikan. Ironisnya, Leyla diketahui tengah hamil muda sebelumnya.

Sesuatu menusuk-nusuk perutnya dan dia berada dalam ambang kehilangan kesadaran. Namun, tak ada yang lebih nyeri dari hatinya sebab dia tak bisa mempetahankan sebuah kehidupan. (hlmn 52)

Inspektuk Kiri Lamari, dibantu rekannya Inspektur saut, bertugas menyelidiki kasus ini. Petunjuk mengarah pada rekan sesama seniman tepatnya pematung. Dan tak sembarang patung, tapi patung yang terbuat dari media yang sama seperti yang membalut para korban. Garam.

Kiri menatap patung-payung abstrak yang berjajar rapi. Bentuknya lebih mirip gundukan garam. Kata orang, karya anak kecil dan karya seniman terkenal kadang tak bisa dibedakan. (hlmn 88)

Penyelidikan belum mendapati titik terang namun sang pembunuh justru terus bergerak. Korban ketiga berasal dari kota lain, Yogyakarta, dan ditemukan justru saat Kiri tengah berada di kota tersebut. Pembunuh itu begitu dekat tapi tetap tak tersentuh.

Dia harus memberi pelajaran kepada Kiri. Sebuah rencana indah sudah disusunnya untuk Kiri. Rencana yang akan menjadi mimpi buruk untuk Kiri. (hlmn 195)

Kiri mulai menerima teror. Kenes, pacarnya, terancam. Dan malam pameran fotografi karya Kenes menjadi puncaknya. Bersama Ireng, bocah mantan pencopet yang kini tinggal bersamanya, Kiri menghadiri pameran tersebut. Namun saat ponselnya berdering, Kiri makin gusar dan terpaksa meninggalkan tempat itu.

Kenes melambaikan tangannya saat masuk ke pintu taksi. Kiri segera masuk rumah saat taksi bergerak. Namun dia tak pernah tahu ada mobil lain dengan kaca gelap yang mengikuti taksi itu. (hlmn 107)

***

Penulis novel ini benar-benar tahu cara menarik minat pembaca sedari awal cerita dimulai. Tokoh yang dihadirkan juga begitu memikat. Awalnya aku merasa janggal dengan polisi yang gemar memasak dan berkebun serta fotografer travel yang menggemari stiletto, tapi seiring berjalannya cerita akan tampak garis merah yang menghubungkan karakter para tokoh dengan plot cerita itu sendiri. Oh, dan aku harus mengakui bahwa karakter Ireng di sini begitu adorable. Bocah ini benar-benar memberi warna berbeda dan menghidupkan cerita dengan caranya sendiri.

Apresiasi juga perlu diberikan untuk riset yang dilakukan penulis. Tak hanya tentang sifat-sifat garam itu sendiri serta kaitannya dengan ilmu forensik tetapi juga filosofi serta kepercayaan-kepercayaan di baliknya. Pun dengan penggambaran segala karya seni dalam novel ini, mulai dari patung, lukisan interior, hingga fotografi.

Kekurangan novel ini hanya pada cerita yang berjalan lurus. Biasanya novel-novel detektif-thriller seperti ini akan menghadirkan beberapa tersangka yang membuat pembaca menebak-nebak pembunuh sebenarnya. Tapi novel ini hanya menghadirkan satu tersangka tunggal, padahal ada tiga korban yang terbunuh dengan latar belakangnya masing-masing. Entahlah, mungkin penulis ingin fokus dan tidak memecah konsentrasi pembaca. Aku pun tak berani komplain karena cerita tetap menghadirkan twist yang tak terduga serta epilog yang cukup mengejutkan di akhir.

Kuberi 4.5 dari 5 bintang.

Terima kasih sudah membaca 🙂